Selasa, 03 Februari 2009

Negara Indonesia: Benarkah Ia Eksis? (1)

TERLETAK di antara dua benua: Asia dan Australia, dan dua samudra yakni Hindia dan Pasifik. Demikianlah kita menunjuk wilayah itu saat ditanyakan di mana “negara Indonesia” berada. Secara umum diketahui atau “diakui” Indonesia terbentuk sebagai suatu negara setelah memperoleh kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, walau sebagian pakar mengatakan negara Indonesia lahir pada tanggal 18 Agustus esok harinya. Hal ini didasarkan pada peristiwa pengesahaan UUD dan penetapan pimpinan negara, yaitu presiden dan wakil presiden republik Indonesia pertama. Menilik referensi lainnya, Indonesia justru baru dianggap sebagai negara ketika mendapat pengakuan kedaulatan pertama dari Mesir pada bulan Juni 1947. Melihat perjalanan sejarah dari masa-masa awal itu hingga sekarang, terbetik sebuah pertanyaan, benarkah negara Indonesia itu ada? Bila memang ada atau pernah ada, kapan dia benar-benar eksis dan menunjukan dirinya sebagai sebuah negara? Bila tidak atau belum ada, apa yang perlu dilakukan agar Indonesia dapat berdiri sebagai layaknya sebuah negara?

Secara umum melalui pelajaran ilmu politik, masyarakat memahami bahwa setidaknya ada 4 kriteria pembentuk negara. Keempat unsur yang harus dimiliki sebuah negara adalah adanya wilayah, rakyat, pemerintah, dan pengakuan kedaulatan. Ketika keempat faktor itu terpenuhi oleh Indonesia, maka sebutan sebagai “negara Indonesia” boleh disandang dengan bangga. Namun betapa sederhananya sebuah negara jika kita harus berhenti pada aturan kriteria seperti itu. Betapa naifnya kehidupan bernegara, dan amat tidak pentingnya negara itu bagi manusia jika hanya melihat keempat elemen itu semata. Ketika sebuah negara hanya menyandarkan diri pada teori “kuno” itu untuk melegitimasi dirinya sebagai negara, maka amat wajar bila masyarakatnya lesuh darah untuk mengikatkan diri pada negara itu.

Pemberontakan dan keinginan melepaskan diri dari berbagai daerah di Indonesia dari awal berdirinya negara hingga hari ini menjadi contoh kongkrit dari asumsi tersebut. Setiap kelompok masyarakat, betapapun kecilnya jumlah populasinya, dapat saja membentuk sebuah negara. Syaratnya sangat mudah, ada wilayah yang mereka diami saat ini, ada anggota komunitasnya sebagai “calon rakyat”, ada pemimpin-pemimpin kelompoknya yang bisa menjelma menjadi pemerintah, dan tinggal menggalang lobi di tingkat dunia untuk mendapatkan pengakuan – walaupun ini bukan perkara mudah. Indonesia saat ini kemungkinan bisa dikategorikan masih pada tahap “negara sederhana” model ini: punya wilayah, rakyat, pemerintah, dan diakui negara lain.

Dari keempat kriteria inipun sesungguhnya banyak orang ragu, apakah memang hal itu terpenuhi oleh Indonesia? Ketika sebuah negara mengklaim bahwa suatu wilayah adalah daerah teritorialnya, maka tentu saja tidak seorangpun dari luar teritori itu yang boleh dan dibiarkan memasukinya tanpa izin. Kenyataannya, beberapa pulau jadi hunian warga negeri jiran, pengambilan kekayaan laut dengan leluasa dilakukan di wilayah perairan perbatasan, baik bersifat pencurian maupun yang mendapat “izin” aparat. Kegiatan penambangan pasir ilegal di perairan kepualauan Riau adalah contoh real. Kemampuan Indonesia untuk menguasai, menjaga dan mengelola wilayahnya masih amat lemah. Hal tersebut mengesankan kekaburan kepemilikan wilayah atau lebih jauh bisa diartikan kepemilikan semu terhadap daerah teritorial itu. Belum lagi bila kita menghitung kemampuan negara menjaga dan mengelola wilayah udaranya.

Kepemilikan wilayah sesungguhnya tidak semata mengetahui batas-batas teritorial. Tetapi ini mengandung makna pengelolaan atas wilayah itu secara efisien dan efektif sebagai implikasi kepemilikan atasnya. Segala upaya harus dilakukan demi menjaga, merawat, mengelola, memanfaatkan, hingga kepada proses transfer kepemilikan wilayah ini dari generasi sekarang ke generasi beriktunya. Kemiskinan dan ketiadaan anggaran negara yang cukup tidaklah pantas menjadi alasan untuk menghidari tanggung jawab terhadap pengelolaan kewilayahan. Daerah luas yang dimiliki itu sendiri adalah kekayaan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengelola wilayah, tidak selayaknya menjadi beban bagi sebuah negara yang benar-benar menganggap dirinya “negara”. Bila tidak sanggup mengelolanya, mudah saja, biarkan orang lain yang menguasai untuk kemakmuran manusia yang ada di atasnya. Biarkan mereka mendirikan sejatinya sebuah negara di atas wilayah nusantara itu.

Tidak kurang dari 238 juta orang mendiami wilayah kepulauan nusantara saat ini. Mereka itulah yang diklaim sebagai rakyat dari sebuah negara bernama Indonesia. Dalam keberagaman budaya, adat-istiadat, pandangan hidup, dan latar belakang, mereka menyatukan hati untuk tunduk menjadi rakyat Indonesia. Suatu hal yang baik dan memang begitulah semestinya. Namun pertanyaan muncul, cukupkah ketundukan itu menjadi dasar legitimasi untuk mengatakan mereka sebagai rakyat Indonesia dalam kerangka persyaratan kelengkapan unsur sebagai negara? Jawabannya bisa: “ya”. Tetapi ketika ketundukan itu merupakan keterpaksaan, maka sesungguhnya kepemilikan rakyat menjadi bias, karena secara hakiki dalam prinsip kedaulatan rakyat, otoritas untuk menentukan seseorang menjadi rakyat (catatan: bukan warga negara) dari suatu negara adalah individu masing-masing.

Meminjam teorinya Immanuel Kant, dia beranggapan bahwa rakyat adalah sekumpulan manusia. Dalam setiap kebijakan yang berkenaan dengan perlakuan atas manusia, tidak dibenarkan untuk memperlakukan masusia semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan atau kebahagiaan pihak lain. Berdasarkan teori ini, ketika manusia Indonesia hanya didudukan sebagai rakyat untuk semata-mata memenuhi ketentuan “menjadi negara” maka Indonesia sudah salah kaprah mengartikan terminologi “rakyat”. Manusia Indonesia hanya “alat” untuk mencapai tujuan Indonesia menjadi “negara”. Dengan demikian, klaim legitimasi Indonesia atas rakyat Indonesia sesungguhnya menjadi kabur.

Begitu banyak penduduk Indonesia yang tersia-siakan oleh negara selama ini. Kemiskinan, kelaparan, minimnya pelayanan kesehatan, ketiadaan sarana hidup layak sebagai manusia, pendidikan yang tidak terjangkau, adalah diantara berbagai persoalan yang mengakibatkan rasa frustasi di mana-mana. Pada kondisi ini, ketundukan rakyat pada negara sangat diragukan. Yang ada adalah “ketiadaan pilihan lain”, mereka terpaksa jadi rakyat Indonesia. Bila saja mereka cukup kuat untuk mengakses berbagai pilihan, maka alternatif jadi rakyat Indonesia kemungkinan akan dihilangkan dari pilihan mereka. Pergolakan-pergolakan yang terjadi di mana-mana tempat sepanjang masa adalah contoh kasus yang membuktikan pendapat ini. Pada waktunya nanti, saat negara benar-benar gagal mengelola kehidupan masyarakat Indonesia untuk menjadi lebih baik, maka akan sangat mungkin pengakuan menjadi rakyat Indonesia akan dicabut oleh masyarakat di nusantara untuk kemudian menyerahkannya kepada kekuatan baru yang lebih meperhatikan mereka.

Pemerintahan dengan segala strukturnya boleh jadi secara kasat mata merupakan indikator kuat bahwa memang ada negara Indonesia. Dari level kepemimpinan pusat hingga ke daerah terlihat berjalan secara rapi dan teratur. Namun ketika kita meneliti secara seksama, benarkah pemerintahan Indonesia dilakukan sepenuhnya oleh presiden republik Indonesia dan jajarannya. Teramat banyak sudah tulisan, artikel, dan paparan para analis yang menunjukan bahwa pemerintahan Indonesia hanya lebih sedikit dari jenis “pemerintahan boneka” kekuatan-kekuatan luar.

Sejak berakhirnya pemerintahan Sukarno, maka kepemimpinan Indonesia praktis hanya perpanjangan tangan negara-negara kuat di Eropa dan Amerika. Naiknya Suharto di tahun 1967an hingga kejatuhannya merupakan era konsolidasi pengendalian “negara boneka” Indonesia oleh Barat. Berlanjut seterusnya ke pemerintahan yang silih berganti hingga kepada kepemimpinan presiden SBY saat ini. Banyak orang akan menunjuk pada persoalan penguasaan potensi eksplorasi kekayaan alam Indonesia menjadi alasan utama bagi kekuatan asing mengendalikan pemerintahan Indonesia. Jadilah Indonesia sekedar “negara mainan” bagi institusi keuangan international, seperti bank dunia, IMF, dan sebagainya yang tidak lain adalah badan usaha negara-negara kapitalis dunia. Selama Indonesia tidak berhasil keluar dari tali kekang anasir-anasir asing itu, maka sesungguhnya Indonesia belum boleh berbangga mengklaim diri sebagai sebuah negara.

Terakhir, faktor pengakuan kedaulatan dari negara lain terhadap Indonesia. Tidak disangsikan bahwa keberadaan kedutaan dan perwakilan diplomatik Indonesia di hampir semua negara di dunia, menjadi pertanda bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang diakui kedaulatannya oleh negara lain. Tetapi ketika masyarakat, perusahaan, dan bahkan pemerintah dari sebagian negara dunia memperlakukan warga Indonesia dengan tidak manusiawi di negeri mereka, bukankah itu merupakan contoh “memandang remeh” atas keberadaan Indonesia sebagai negara berdaulat? Lagi, menggunakan fenomena “negara mainan” yang diuraikan pada alinea terdahulu, maka kedaulatan apa sesungguhnya yang diakui dunia pada Indonesia? Pengakuan itu terkesan tidak lebih dari pengakuan semu belaka. Indonesia hampir pada keadaan antara ada dan tiada.

Sampai pada titik ini, keraguan kepada eksistensi Indonesia sebagai negara menjadi sangat kental. Karena kenyataannya, empat unsur persyaratan umum berdirinya negara belum dapat dikatakan terpenuhi dengan baik dan memadai. Untuk itu perlu ada usaha yang serius bagi penguatan keberadaan diri sebagai negara yang benar-benar ada dan dihormati dunia. Menurut Matt Rosenberg, setidaknya ada 8 kriteria persyaratan minimal untuk diakui sebagai negara sejati. Kedelapan elemen itu akan diuraikan pada tulisan berikutnya di bagian 02.***

CATATAN: Artikel ini termuat di www.kabarindonesia.com

(26-Mar-2007, 13:17:51 WIB).

Jumat, 30 Januari 2009

HUKUM KEPAILITAN

KEPAILITAN DI INDONESIA (PENGANTAR)

Oleh; Imran Nating, SH., MH.[1][1]

Pendahuluan
Dipailitkannya Prudential beberapa saat yang lalu membawa kabar buruk bagi para pemegang polis asuransi perusahaan tersebut. Hal yang sama bahkan lebih tragis lagi dirasakan oleh pemilik dan tentunya karyawan Prudential. Masyarakat (karyawan dan pemegang polis)dan pengamat sekalipun, juga heran. Keheranan mereka berdasar pada satu tolok ukur yang kasat mata, bahwa Prudential berada dalam kondisi keuangan yang sehat, dan yang lainnya, bahwa hutang Prudential tidak sebanding dengan harta kekayaan Prudential yang demikian besarnya.
Tulisan ini nermaksud memberikan gambaran secara sederhana tentang kepailitan.

Apa itu Pailit
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.[2][2]
Dalam hal seorang debitur hanya mempunyai satu kreditur dan debitur tidak membayar utangnya dengan suka rela, maka kreditur akan menggugat debitur secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitur dipakai untuk membayar kreditor tersebut. Sebaliknya dalam hal debitur mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditur, maka para kreditur akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun yang tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.
Kreditur yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Kepailitan, yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang dipaparkan di atas [3][3]
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.[4][4] Dalam perkembangannya kemudian, Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan untuk melindungi debitur dengan memberikan cara untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar secara penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.
Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening.[5][5]
Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatip masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan negeri.[6][6]
Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.
Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135).
Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali.[7][7] Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.
Sistem yang dipergunakan dalam perubahan Undang-Undang Kepailitan adalah tidak melakukan perubahan secara total, tetapi hanya mengubah pasal-pasal tertentu yang perlu diubah dan menambah berbagai ketentuan baru ke dalam undang-undang yang sudah ada. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut meliputi antara lain:[8][8] Pertama, penyempurnaan di sekitar syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan. Termasuk didalamnya, pemberian kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit. Kedua, penyempurnaan pengaturan yang bersifat penambahan ketentuan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya oleh kreditur atas kekayaan debitur sebelum adanya putusa pernyataan pailit. Ketiga, peneguhan fungsi kurator dan penyempurnaan yang memungkinkan pemberian jasa-jasa tersebut di samping institusi yang selama ini telah dikenal, yaitu Balai Harta Peninggalan. Keempat, penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan. Dalam Undang-Undang Kepailitan hasil revisi dikatakan bahwa untuk setiap putusan pernyataan pailit, upaya hukum yang dapat diajukan hanyalah kasasi ke Mahkamah Agung. Kelima, dalam rangka kelancaran proses kepailitan dan pengamanan berbagai kepentingan secara adil, dalam rangka penyempurnaan ini juga ditegaskan adanya mekanisme penangguhan pelaksanaan hak kreditur dengan hak preferens, yang memegang hak tanggungan, hipotik, gadai atau agunan lainnya. Keenam, penyempurnaan dilakukan pula terhadap ketentuan tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana diatur dalam BAB KEDUA Undang-Undang Kepailitan sebagaimana telah diubah. Ketujuh, penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum. Lembaga ini disebut dengan pengadilan niaga, dengan hakim-hakim yang juga akan bertugas secara khusus.

Tujuan Kepailitan
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator.[9][9] Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.
Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:[10][10]
Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitur terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:[11][11]
Bahwa kekayaan debitur (pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (pasal 1132) secara proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (hak Preferens).

Syarat Kepailitan
Dalam undang-undang kepailitan, persyaratan untuk dapat dipailitkan sungguh sangat sederhana. Pasal 1 ayat (1) UUK, menentukan bahwa yang dapat dipailitkan adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
Dari paparan di atas, maka telah jelas, bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi dua syarat yaitu:
1. 1. Memiliki minimal dua kreditur;
2. 2. Tidak membayar minimal satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Kreditur yang tidak dibayar tersebut, kemudian dapat dan sah secara hukum untuk mempailitkan kreditur, tanpa melihat jumlah piutangnya.

Begitu Mudah Dipailitkan
Undang-Undang Kepailitan kita, sekali lagi memang sangat mempermudah proses kepailitan. Sebagai contoh, Pasal 6 ayat (3) UUK menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) telah terpenuhi.
Bunyi pasal di atas dengan tegas menyatakan bahwa Hakim harus mengabulkan, bukan dapat mengabulkan, jika telah terbukti secara sederhana. Yang dimaksud terbukti secara sederhana adalah kreditur dapat membuktikan bahwa debitur berutang kepadanya, dan belum dibayarkan oleh debitur kepadanya padahal telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kemudian kreditur tersebut dapat membuktikan di depan pengadilan, bahwa debitur mempunyai kreditur lain selain dirinya. Jika menurut hakim apa yang disampaikan kreditur atau kuasanya benar, tanpa melihat besar kecilnya jumlah tagihan kreditur, maka hakim harus mengabulkan permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditur tersebut.

Akibat Hukum Pernyataan Pailit
Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan.
Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, KURATOR berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.
Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator.
Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).

Siapa yang Mempailitkan Siapa
Setiap kreditur (perorangan atau perusahaan) berhak mempailitkan debiturnya (perorangan atau perusahaan) jika telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUK, sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Dikecualikan oleh Undang-Undang Kepailitan adalah Bank dan Perusahaan Efek. Bank hanya bisa dimohonkan pailitkan oleh Bank Indonesia, sedangkan perusahaan efek hanya bisa dipailitkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).
Bank dan Perusahaan Efek hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, hal ini didasarkan pada satu alasan bahwa kedua institusi tersebut melibatkan banyak uang masyarakat, sehingga jika setiap kreditur bisa mempailitkan, hal tersebut akan mengganggu jaminan kepastian bagi para nasabah dan pemegang saham.
Jika kita melihat kasus Prudential dan Manulife, maka telah nyata bagi semua kalangan, bahwa perusahaan asuransi pun melibatkan uang masyarakat banyak, sehingga seharusnya UUK mengatur bahwa Perusahaan Asuransi pun harus hanya bisa dipailitkan oleh instansi tertentu, dalam hal ini Departemen Keuangan.
Kejaksaaan juga dapat mengajukan permohonan pailit yang permohonannya didasarkan untuk kepentingan umum.

Penutup
Tulisan ini hanya mencoba memberi gambaran sederhana mengenai proses kepailitan di Indonesia. Apa yang penulis sampaikan di atas sungguh masih sangat tidak lengkap menyampaikan informasi tentang kepailitan.
Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam proses kepailitan akan penulis sampaikan dalam artikel yang lain.
[1][1] Penulis adalah Lawyer di Jakarta, Menyelesaikan S1 di UNHAS dan S2 di UI (Hukum Ekonomi) .
[2][2] J. Djohansah. “ Pengadilan Niaga” di dalam Rudy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( Bandung: Alumni, 2001). Hlm. 23
[3][3] Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Kepailitan, yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang dipaparkan diatas. Lihat Kartini Muljadi. “Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum Kepailitan”, di dalam Ruddhy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Piutang melaui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Alumni, 2001) hlm. 75-76.
[4][4] Erman Radjagukuguk. “Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan”, di dalam Ruddhy Lontoh (Ed.), Penyelesaian Utang Piutang melaui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Alumni, 2001) hlm. 181.

[5][5] Kartini Muljadi, “Perubahan pada Faillessmentverordening dan perpu No. 1 tahun 1998 jo UU No. 4 tahun 1998 tentang penetapan Perpu No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas UU tentang kepalilitan menjadi UU”, makalah dalam Seminar Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia. Jakarta 25 Juli 2003.
[6][6] Ibid
[7][7] Sutan Remy Sjahdeni. Hukum Kepailitan – Memahami Faillissementsverordening juncto Undang-Undang No. 4 tahun 1998. (Jakarta: Pusataka Utama Grafiti, 2002) hlm. ix
[8][8] Ahmad Yani & Gunawan Widjaja.Kepailitan.. (Jakarta: Rajawali Pers, 1999) hlm. 5-9
[9][9] Mosgan Situmorang. “Tinjauan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 menjadi Undang-Undang”. Majalah Hukum Nasional, No. 1, hlm. 163. 1999
[10][10] Sri Redjeki Hartono, “ Hukum Perdata sebagai dasar hukum kepailitan modern”, Majalah Hukum Nasional, No. 2 hlm. 37 Tahun 2000.
[11][11] Ibid.