Selasa, 03 Februari 2009

Negara Indonesia: Benarkah Ia Eksis? (1)

TERLETAK di antara dua benua: Asia dan Australia, dan dua samudra yakni Hindia dan Pasifik. Demikianlah kita menunjuk wilayah itu saat ditanyakan di mana “negara Indonesia” berada. Secara umum diketahui atau “diakui” Indonesia terbentuk sebagai suatu negara setelah memperoleh kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, walau sebagian pakar mengatakan negara Indonesia lahir pada tanggal 18 Agustus esok harinya. Hal ini didasarkan pada peristiwa pengesahaan UUD dan penetapan pimpinan negara, yaitu presiden dan wakil presiden republik Indonesia pertama. Menilik referensi lainnya, Indonesia justru baru dianggap sebagai negara ketika mendapat pengakuan kedaulatan pertama dari Mesir pada bulan Juni 1947. Melihat perjalanan sejarah dari masa-masa awal itu hingga sekarang, terbetik sebuah pertanyaan, benarkah negara Indonesia itu ada? Bila memang ada atau pernah ada, kapan dia benar-benar eksis dan menunjukan dirinya sebagai sebuah negara? Bila tidak atau belum ada, apa yang perlu dilakukan agar Indonesia dapat berdiri sebagai layaknya sebuah negara?

Secara umum melalui pelajaran ilmu politik, masyarakat memahami bahwa setidaknya ada 4 kriteria pembentuk negara. Keempat unsur yang harus dimiliki sebuah negara adalah adanya wilayah, rakyat, pemerintah, dan pengakuan kedaulatan. Ketika keempat faktor itu terpenuhi oleh Indonesia, maka sebutan sebagai “negara Indonesia” boleh disandang dengan bangga. Namun betapa sederhananya sebuah negara jika kita harus berhenti pada aturan kriteria seperti itu. Betapa naifnya kehidupan bernegara, dan amat tidak pentingnya negara itu bagi manusia jika hanya melihat keempat elemen itu semata. Ketika sebuah negara hanya menyandarkan diri pada teori “kuno” itu untuk melegitimasi dirinya sebagai negara, maka amat wajar bila masyarakatnya lesuh darah untuk mengikatkan diri pada negara itu.

Pemberontakan dan keinginan melepaskan diri dari berbagai daerah di Indonesia dari awal berdirinya negara hingga hari ini menjadi contoh kongkrit dari asumsi tersebut. Setiap kelompok masyarakat, betapapun kecilnya jumlah populasinya, dapat saja membentuk sebuah negara. Syaratnya sangat mudah, ada wilayah yang mereka diami saat ini, ada anggota komunitasnya sebagai “calon rakyat”, ada pemimpin-pemimpin kelompoknya yang bisa menjelma menjadi pemerintah, dan tinggal menggalang lobi di tingkat dunia untuk mendapatkan pengakuan – walaupun ini bukan perkara mudah. Indonesia saat ini kemungkinan bisa dikategorikan masih pada tahap “negara sederhana” model ini: punya wilayah, rakyat, pemerintah, dan diakui negara lain.

Dari keempat kriteria inipun sesungguhnya banyak orang ragu, apakah memang hal itu terpenuhi oleh Indonesia? Ketika sebuah negara mengklaim bahwa suatu wilayah adalah daerah teritorialnya, maka tentu saja tidak seorangpun dari luar teritori itu yang boleh dan dibiarkan memasukinya tanpa izin. Kenyataannya, beberapa pulau jadi hunian warga negeri jiran, pengambilan kekayaan laut dengan leluasa dilakukan di wilayah perairan perbatasan, baik bersifat pencurian maupun yang mendapat “izin” aparat. Kegiatan penambangan pasir ilegal di perairan kepualauan Riau adalah contoh real. Kemampuan Indonesia untuk menguasai, menjaga dan mengelola wilayahnya masih amat lemah. Hal tersebut mengesankan kekaburan kepemilikan wilayah atau lebih jauh bisa diartikan kepemilikan semu terhadap daerah teritorial itu. Belum lagi bila kita menghitung kemampuan negara menjaga dan mengelola wilayah udaranya.

Kepemilikan wilayah sesungguhnya tidak semata mengetahui batas-batas teritorial. Tetapi ini mengandung makna pengelolaan atas wilayah itu secara efisien dan efektif sebagai implikasi kepemilikan atasnya. Segala upaya harus dilakukan demi menjaga, merawat, mengelola, memanfaatkan, hingga kepada proses transfer kepemilikan wilayah ini dari generasi sekarang ke generasi beriktunya. Kemiskinan dan ketiadaan anggaran negara yang cukup tidaklah pantas menjadi alasan untuk menghidari tanggung jawab terhadap pengelolaan kewilayahan. Daerah luas yang dimiliki itu sendiri adalah kekayaan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengelola wilayah, tidak selayaknya menjadi beban bagi sebuah negara yang benar-benar menganggap dirinya “negara”. Bila tidak sanggup mengelolanya, mudah saja, biarkan orang lain yang menguasai untuk kemakmuran manusia yang ada di atasnya. Biarkan mereka mendirikan sejatinya sebuah negara di atas wilayah nusantara itu.

Tidak kurang dari 238 juta orang mendiami wilayah kepulauan nusantara saat ini. Mereka itulah yang diklaim sebagai rakyat dari sebuah negara bernama Indonesia. Dalam keberagaman budaya, adat-istiadat, pandangan hidup, dan latar belakang, mereka menyatukan hati untuk tunduk menjadi rakyat Indonesia. Suatu hal yang baik dan memang begitulah semestinya. Namun pertanyaan muncul, cukupkah ketundukan itu menjadi dasar legitimasi untuk mengatakan mereka sebagai rakyat Indonesia dalam kerangka persyaratan kelengkapan unsur sebagai negara? Jawabannya bisa: “ya”. Tetapi ketika ketundukan itu merupakan keterpaksaan, maka sesungguhnya kepemilikan rakyat menjadi bias, karena secara hakiki dalam prinsip kedaulatan rakyat, otoritas untuk menentukan seseorang menjadi rakyat (catatan: bukan warga negara) dari suatu negara adalah individu masing-masing.

Meminjam teorinya Immanuel Kant, dia beranggapan bahwa rakyat adalah sekumpulan manusia. Dalam setiap kebijakan yang berkenaan dengan perlakuan atas manusia, tidak dibenarkan untuk memperlakukan masusia semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan atau kebahagiaan pihak lain. Berdasarkan teori ini, ketika manusia Indonesia hanya didudukan sebagai rakyat untuk semata-mata memenuhi ketentuan “menjadi negara” maka Indonesia sudah salah kaprah mengartikan terminologi “rakyat”. Manusia Indonesia hanya “alat” untuk mencapai tujuan Indonesia menjadi “negara”. Dengan demikian, klaim legitimasi Indonesia atas rakyat Indonesia sesungguhnya menjadi kabur.

Begitu banyak penduduk Indonesia yang tersia-siakan oleh negara selama ini. Kemiskinan, kelaparan, minimnya pelayanan kesehatan, ketiadaan sarana hidup layak sebagai manusia, pendidikan yang tidak terjangkau, adalah diantara berbagai persoalan yang mengakibatkan rasa frustasi di mana-mana. Pada kondisi ini, ketundukan rakyat pada negara sangat diragukan. Yang ada adalah “ketiadaan pilihan lain”, mereka terpaksa jadi rakyat Indonesia. Bila saja mereka cukup kuat untuk mengakses berbagai pilihan, maka alternatif jadi rakyat Indonesia kemungkinan akan dihilangkan dari pilihan mereka. Pergolakan-pergolakan yang terjadi di mana-mana tempat sepanjang masa adalah contoh kasus yang membuktikan pendapat ini. Pada waktunya nanti, saat negara benar-benar gagal mengelola kehidupan masyarakat Indonesia untuk menjadi lebih baik, maka akan sangat mungkin pengakuan menjadi rakyat Indonesia akan dicabut oleh masyarakat di nusantara untuk kemudian menyerahkannya kepada kekuatan baru yang lebih meperhatikan mereka.

Pemerintahan dengan segala strukturnya boleh jadi secara kasat mata merupakan indikator kuat bahwa memang ada negara Indonesia. Dari level kepemimpinan pusat hingga ke daerah terlihat berjalan secara rapi dan teratur. Namun ketika kita meneliti secara seksama, benarkah pemerintahan Indonesia dilakukan sepenuhnya oleh presiden republik Indonesia dan jajarannya. Teramat banyak sudah tulisan, artikel, dan paparan para analis yang menunjukan bahwa pemerintahan Indonesia hanya lebih sedikit dari jenis “pemerintahan boneka” kekuatan-kekuatan luar.

Sejak berakhirnya pemerintahan Sukarno, maka kepemimpinan Indonesia praktis hanya perpanjangan tangan negara-negara kuat di Eropa dan Amerika. Naiknya Suharto di tahun 1967an hingga kejatuhannya merupakan era konsolidasi pengendalian “negara boneka” Indonesia oleh Barat. Berlanjut seterusnya ke pemerintahan yang silih berganti hingga kepada kepemimpinan presiden SBY saat ini. Banyak orang akan menunjuk pada persoalan penguasaan potensi eksplorasi kekayaan alam Indonesia menjadi alasan utama bagi kekuatan asing mengendalikan pemerintahan Indonesia. Jadilah Indonesia sekedar “negara mainan” bagi institusi keuangan international, seperti bank dunia, IMF, dan sebagainya yang tidak lain adalah badan usaha negara-negara kapitalis dunia. Selama Indonesia tidak berhasil keluar dari tali kekang anasir-anasir asing itu, maka sesungguhnya Indonesia belum boleh berbangga mengklaim diri sebagai sebuah negara.

Terakhir, faktor pengakuan kedaulatan dari negara lain terhadap Indonesia. Tidak disangsikan bahwa keberadaan kedutaan dan perwakilan diplomatik Indonesia di hampir semua negara di dunia, menjadi pertanda bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang diakui kedaulatannya oleh negara lain. Tetapi ketika masyarakat, perusahaan, dan bahkan pemerintah dari sebagian negara dunia memperlakukan warga Indonesia dengan tidak manusiawi di negeri mereka, bukankah itu merupakan contoh “memandang remeh” atas keberadaan Indonesia sebagai negara berdaulat? Lagi, menggunakan fenomena “negara mainan” yang diuraikan pada alinea terdahulu, maka kedaulatan apa sesungguhnya yang diakui dunia pada Indonesia? Pengakuan itu terkesan tidak lebih dari pengakuan semu belaka. Indonesia hampir pada keadaan antara ada dan tiada.

Sampai pada titik ini, keraguan kepada eksistensi Indonesia sebagai negara menjadi sangat kental. Karena kenyataannya, empat unsur persyaratan umum berdirinya negara belum dapat dikatakan terpenuhi dengan baik dan memadai. Untuk itu perlu ada usaha yang serius bagi penguatan keberadaan diri sebagai negara yang benar-benar ada dan dihormati dunia. Menurut Matt Rosenberg, setidaknya ada 8 kriteria persyaratan minimal untuk diakui sebagai negara sejati. Kedelapan elemen itu akan diuraikan pada tulisan berikutnya di bagian 02.***

CATATAN: Artikel ini termuat di www.kabarindonesia.com

(26-Mar-2007, 13:17:51 WIB).